PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM KLASIK

  ISLAM sejak awal mencari cara untuk menentukan sikap moral penggunan uang dengan menetapkan batasan-batasan yang akan menjadikan kekayaan secara solidaritas komunitas daripada antagonisme dan perpecahan. Konsepsi Islam tentang suatu komunitas didasarkan pada cita-cita dan tidak disarikan dari kenyataan. Tujuannya adalah untuk menemukan struktur ekonomi yang akan mendukung cita-cita sosial sepertiyang diinginkan. Hal tersebut juga berhubungan dengan komitmen, yang masih bertahan dalam tradisi islam, yaitu kegiatan ekonomi untuk mencari Ridha dari Allah S.W.T.
  Konsepsi Muslim tentang ekonomi telah tertanam dalam visi cita-cita sosial dan pertanyaan-pertanyaan ekonomi telah dilihat dalam arti pentingnya bagi masa kini dan masa depan komunitas umat beriman. Karena alasan ini, tidak pantas untuk bertanya apakah rumusan ekonomi tertentu - misalnya, gagasan tentang harga - benar atau salah, melainkan bagaimana penulis Muslim memperlakukan gagasan tersebut dalam kaitannya dengan pernyataan lain atau kategori non-ekonomi lainnya, terutama etika dan yang politis.

Walaupun bukan dianggap sebagai risalah ekonomi politik, Al-quran sudah dianggap sebagai karya islam yang pertama tentang etika ekonomi. Produksi untuk pasar dan perdagangan digambarkan dalam Al-Quran sebagai praktik yang mulia dan perdagangan digambarkan dengan baik. Selain itu, Al-Quran memang memuji pedagang yang baik, tetapi juga mengutuk penipu.
  Islam tidak ada tradisi hukum positif yang berasal dari akal manusia. Hukum diturunkan dari Syar'ah , sebuah ekspresi dari tekad ilahi, dan para ahli hukum dan teolog mengembangkan prinsip-prinsip etika, sosial, dan ekonomi dari sumber itu. Karena itu, kekuatan hukum berakar pada subordinasi kehidupan individu dengan kehidupan komunal.
   Dalam hubungan ekonomi, keuntungan yang terkait dengan pertukaran hanya akan bertambah ketika properti dilindungi dan saling menguntungkan dan ganti rugi dijamin.3 Kodifikasi aturan pasar menjadi hukum Muslim dan pengembangan yurisprudensi (fiqh) berasal dari diskusi umum tentang pertukaran dalam konteks hubungan sosial yang lebih luas.
    Perkembangan kota-kota muslim dan meningkatnya kompleksitas proses pertukaran memunculkan dua sisi, di satu sisi ke literatur khusus, buku pegangan Ijisba, dan, di sisi lain dengan penunjukan pejabat, muftjasib, yang secara eksklusif yang bertanggung jawab atas mengawasi pasar. The Ijisba risalah tidak hanya dokumen penting yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi dan sosial di negara-negara muslim tetapi juga merupakan sumber informasi tentang sejarah pemikiran ekonomi. Buku ini menunjukkan keragaman dan ruang lingkup tanggung jawab muftajib.
    Muftajib diharapkan untuk menegakkan standar untuk bobot dan ukuran, untuk memeriksa kehalusan koin dan untuk mencegah pedagang dari praktik riba. Sehingga otomatis tanggung jawabnya adalah kembali ke visi cita-cita awal tadi, yaitu untuk melindungi dan agar tidak terjadi penipuan.

Para ilmuwan Barat tidak pernah menyebutkan dan memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia. Para ilmuwan tidak mencatat pemikiran yang dihasilkan oleh kaum muslimin selama 500 tahun dan dikenal sebagai the great gap. Sejarah pemikiran ekonomi Islam terbagi dalam beberapa Fase: 
  • Fase Pertama; Fase Pembangunan (Abad VI-XI/ Abad 1-V H)
  • Fase Kedua, Fase Cemerlang (Abad XI-XV)
  • Fase Ketiga, Fase Kemunduran (Abad XV-XX/1446-1932M)
FASE I
1. Zaid Bin Ali (sebelum 80H/738M)

Zaid Bin ʻAlī memiliki pandangan bahwa uang akan menghasilkan sesuatu melalui perniagaan. Oleh sebab itu pandangannya terhadap transaksi jual beli secara kredit dengan harga lebih tinggi adalah sah karena yang terpenting adalah terwujudnya saling riḍā diantara kedua belah pihak. Ia hanya menganggap bahwa keuntungan dari penjualan secara beransur merupakan murni bagian dari perniagaan dan tidak termasuk ribā dan merupakan jawaban dari permintaan pasar. Abū Zahrā menyatakan bahwa keputusan Ẓaid Bin ʻAli adalah sah. Karena ia memisahkan antara harga dan jangka waktu, apabila masa yang diambil lebih panjang maka harga akan lebih tinggi. Hal ini menjadi dasar penerapan konsep jual beli kredit dalam memenuhi keperluan bagi seluruh masyarakat. Asas penetapan akad harus diambil dari ayat al-Qurān dan al-Ḥadīth sebagai asas utama. Tetapi pada aktivitas ekonomi merujuk kepada dasar keadilan dan keseimbangan dalam memutuskan segala perkara.
2. Abu Hanafiah (80-150H/699-767M)
Salah satu pemikirannya adalah tentang salam, yaitu bentuk transaksi dimana pihak penjual dan pembeli setuju bila barang akan dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. murābaḥah adalah penjualan dengan margin dari harga beli yang disepakati dengan beberapa tambahan demi menciptakan keadilan. Dalam kerjasama hasil pertanian (Muzāraʻah), kebijakan Abū Ḥanīfah meninggikan nilai kemanusiaan dengan melindungi pekerja lemah, apabila tanah tidak dapat menghasilkan apapun maka petani dibebaskan dari pembagian kerugian. Dalam isu wakaf, Abu Hanifah berpendapat bahwa benda wakaf masih tetap milik wāqif. Wakaf dan pinjam meminjam memiliki kedudukan yang sama, jadi benda wakaf dapat dijual, diwariskan dan di hadiahkan kepada pihak lain, kecuali wakaf untuk masjid dan wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf yang di ikrarkan. Pemikiran Abu Hanifah terhadap zakat membawa konsep yang masih digunakan sehingga saat ini, yaitu mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak. Orang yang berhutang tidak diwajibkan membayar zakat jika hutangnya lebih banyak daripada harta yang dimiliki. 
3. Abu Yusuf (113-182H/731-798M)
Dalam perpajakan Abu Yusuf  telah memberikan  prinsip-prinsip tentang  kesanggupan membayar, pemberian  waktu yang longgar  bagi  pembayar pajak, dan sentralisasi  pembuat  keputusan dalam administrasi  pajak. Abu Yusuf  juga menghasilkan  pemikiran tentang harga, yaitu pengendalian harga. Penguasa dilarang menetapkan harga, karena penentuan harga didasarkan pada kekuatan permintaan dan penawaranKeuangan publik juga merupakan hasil pemikiran Abu Yusuf yaitu tentang cara memperoleh sumber-sumber perbelanjaan untuk pembanguan jangka panjang. Hasil pemikirannya adalah tentang tanggung jawab penguasa, pertanian, dan perpajakan yang ditulis dalam kitab al-Kharaj. Dalam bidang pertanian dia menyetujui Negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari penggarapan daripada menarik sewa dari lahan pertanian.
Pemikiran Abū Yūsuf dalam buku beliau yang berjudul al-Kharāj, antara lain:
(1) Segala aktivitas ekonomi, sarana serta kemudahan yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah, namun jika manfaat dari segala sarana dan kemudahan itu hanya dapat dirasakan oleh pihak tertentu, maka orang tersebut dapat dikenakan biaya. Kemudian, demi terciptanya kesejahteraan masyarakat, negara berhak untuk membebankan pajak fa‘i ushur, jizyah  dan lain-lain sebagai pendapatan negara.
(2) Perpajakan, Abū Yūsuf mengganti praktik misāḥah (fixed tax) dengan muqāsamah (proportional tax), dikarenakan hal tersebut akan menindas dan mendzalimi rakyat miskin, dan menentang sistem Qābalah,
(3) Dalam mekanisme harga, ia melarang penguasa menentukan harga suatu barang, karena menurutnya keadilan hanya terjadi jika harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar saja. Penjelesan Abū Yūsuf dalam mekanisme pasar dan nasihat kepada pemerintah tidak disertakan dengan pembahasan yang terperinci. Sejauh ini pemikiran Abū Yūsuf dijadikan rujukan dalam menerapkan konsep perpajakan di beberapa negara dunia. Ia telah menawarkan konsep maslahah yang shumul untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan.
4. Muhammad Bin Al-Hasan Asy-Syaibani (132-189H/750-804M) 
Hasil pemikirannya adalah tentang pendapatan dan belanja rumah tangga. Adanya pengklasifikasian terhadap perkerjaan, yaitu ijarah (sewa-menyewa), tijarah (perdagangan), zira’ah (pertanian) dan shina’ah (industri).
5. Ibnu Maskawaih (421H/1030M)
Hasil pemikirannya adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan bahwa benda yang dapat dijadikan mata uang adalah logam yang dapat diterima secara universal melalui konvensi, yaitu tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang, dan orang senang melihatnya.
FASE II  
1. Al-Ghazali(451-505 H/ 1055- 1111 M )
Ia memiliki padangan bahwa setiap manusia harus memenuhi keperluan hidupnya dan melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah. Al-Ghazālī memberikan peringatan  bahwa pemimpin harus menjamin kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Prinsip keadilan, apabila ada rakyat yang tidak mampu dalam membiayai kehidupannya, maka seluruh rakyat berkecukupan harus membantu meringankan bebannya.
Pandangan Al-Ghazālī terhadap pajak, menginspirasi dalam penentuan monetary policy pada masa modern. Pandangan Al-Ghazālī tentang pertukaran barang (barter), tidak efisien sistem barter dan kepentingan dan fungsi uang. Rafiq al-Mișrī memberikan satu tanggapan pada fungsi uang pada pemikiran Al-Ghazālī ialah sebagai dasar nilai, media pertukaran, dan nilai simpanan. Uang tidak boleh menjadi bahan pertukaran dengan wang it sendiri, kecuali dengan membelanjakan dengan barang yang kemudian barang tersebut dijual kembali dengan margin yang disepakati.
2. Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M)
Ibnu Taimiyah menjelaskan 3 teori keadilan dalam aktivitas ekonomi, yaitu upah yang adil, keuntungan yang adil, dan harga yang adil. Konsep harga yang adil (justice price) yaitu tarif dimana orang menjual barangnya dengan secara umum dan diterima sebagai keseimbangan pada masa dan empat yang khusus. Ibnu Taimiyah memberikan teori yang masih digunakan dalam ekonomi modern yaitu konsep mekanisme pasar. Perubahan tingkat harga tidak selalu disebabkan oleh pelaku pasar, namun faktor kurangnya produksi atau turunnya jumlah impor barang. Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa kenaikan permintaan barang yang tidak diikuti dengan kenaikan penawaran atau produksi barang akan mendorong kenaikan harga barang. Islahi juga menyatakan konsep Ibnu Taimiyah tentang penetepan upah ini bertujuan untuk menghindari tindakan eksploitasi dari pihak penguasa terhadap pihak pekerja. Pernyataan ini menunjukkan teori penawaran dan permintaan tenaga kerja sehingga mempengaruhi kadar upah. Teori upah yang adil ini kemudian diadopsi oleh David Ricardo empat abad kemudian.

3.Ibnu Khaldun (732-845 H/ 1332-1406 M)

Ibnu Khaldun membagi fenomena harga berdasarkan jenis barang,yaitu:

a. barang kebutuhan dasar dan
b. barang pelengkap.
Menurutnya, apabila suatu pasar berkembang dan selanjutnya populasi bertambah (menjadi pasar besar), maka pengadaan barang-barang kebutuhan dasar akan mendapatkan keutamaan.
Hasil pemikirannya adalah tentang :

a. Teori produksi, menurutnya produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan secara sosial dan internasional.
b. Teori nilai dan harga  
c. Teori distribusi  
d. Teori siklus, yaitu produksi bergantung kepada penawaran dan permintaan terhadap produk.  
e. Public Finance
4. Al-Maqrizi (845 H/1441 M)

Hasil pemikirannya adalah tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan. Al-Maqrizi pun mengatakan bahwa emas dan perak merupakan satu-satunya mata uang ang dapat dijadikan standar nilai sebagaimana yang telah ditentukan dalam syariah. 

FASE III
1. Shah Wali Allāh Al-Ḍaḥlawi (1114-1176 H/1703-1763 M)
Kajiannya mengenai faktor-faktor menurunnya pendapatan adalah karena faktor perbelanjaan pada produk yang kurang produktif dan peningkatan beban pajak atas orang-orang yang lemah. Pada akhirnya, Shah Wali Allāh menyatakan kerjasama telah membentuk dasar hubungan ekonomi yang manusiawi dan Islami. Kesimpulan dari hasil pemikiran beliau adalah kejujuran moral sangat diperlukan untuk membuat tatanan sosial ekonomi yang stabil dan seimbang. 
Pada fase ini adalah Shah Waliullah, yang menjelaskan pentingnya kerjasama sebagai dasar kegiatan ekonomi. Dilarang perjudian dan riba adalah sebab bertentangan dengan prinsip kerjasama tersebut. Semua tempat pada dasarnya, seperti mesjid atau tempat beristirahat untuk orang yang melakukan perjalanan, digunakan secara bersama dengan dasar first come first served (yang datang duluan mendapat pelayanan duluan).
2. Muhammad Abduh (1266-1323 H/1849-1905 M)
Muhammad Abduh menyatakan demi kemaslahatan umum, Islam mewajibkan pemerintah untuk berperan dalam urusan ekonomi. Peranan yang diharapkan antara lain; mendirikan pabrik-pabrik untuk meningkatkan produksi, membuat lahan kerja baru, menentukan harga barang pokok dan menentukan kebijakan ekonomi.

Muhammad Abduh mengartikan perilaku zalim sebenarnya adalah perilaku zalim dalam ekonomi, seperti  kikir yang kifur nikmat. Dan beliau juga mengingatkan bahaya dari pelaku pemilik modal (kapitalis). Beliau juga mengatakan bahwa kemiskinan itu disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah karena faktor tidak mampu bekerja, gagal berusaha, pengangguran, malas, dan rendahnya pendidikan. Ia mengatakan, “jika kemiskinan seseorang memang sudah menjadi sunnatullah, maka mengatasi kemiskinan itu pun juga harus dengan sunnatullah, begitu juga halnya dengan kekayaan seseorang.” Begitu juga jika seseorang ingin memperoleh kekayaan, maka ia harus berusaha dan bekerja untuk memperolehnya.
3. Muhammad Iqbal (1289-1357 H/1873-1938 M)
Muhammad Iqbal memiliki pemikiran ekonomi Islam lebih kepada konsep-konsep umum. Ia melihat kelemahanan dari sistem kapitalis dan komunis. Dan ia mengambil sikap yang lebih baik dengan bersumber kepada al-Quran dan al-Hadith. Menurutnya, semangat Kapitalis, yaitu memupuk modal sebagai nilai dasar sistem ini dan bertentangan dengan semangat Islam. Demikian juga, semangat komunis banyak melakukan pemaksaan kepada masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Iqbal memperhatikan terhadap petani, buruh dan masyarakat lemah lainnya. Ia menganggap semangat kapitalis yang selalu mengeksploitasi menjadi asing bagi Islam. Ia menganggap bahawa pembentukan keadilan sosial merupakan salah satu bagian dari tugas pemerintahan Islam, dan memandang zakat sebagai potensi yang efektif untuk menciptakan masyarakat yang adil.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN KEYNES, NEO-KEYNES DAN PASCA KEYNESIAN

POKOK-POKOK PIKIRAN ALIRAN MONETARIS

PEMBAHARUAN TERHADAP MARXISME